PasangIklanoketrik PasangIklanoketrik PasangIklanoketrik PasangIklanoketrik PasangIklanoketrik PasangIklanoketrik

Senin, 31 Oktober 2011

UN4U di Fikom Untar

Disampaikan oleh : Mitra Slima Suryono (Assiciated External Relations and Public Information Officer of UNHCR.

(Rabu, 26 Oktober 2011)

Adanya bencana alam atau konflik bersenjata di suatu negara menyebabkan banyak warga negara tersebut ingin mendapat perlindungan dengan mengungsi ke tempat lain. Namun terkadang pengungsi-pengungsi ini ditolak oleh negara tempat ia menungsi karena alasan kemanan,  Padahal mereka benar-benar dalam kesulitan.



Contoh kasus seperti inilah yang menjadi perhatian organisasi internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa/PBB (dalam bahasa Inggris : United Nation /UN). United Nation High Commission of Refugee (UNHCR) merupakan organisasi di bawah PBB yang mengurusi area kerja PBB tentang perlindungan pengungsi / Refugee Protection.

Pada Rabu, Fikom Untar Kedatangan tamu dari UNHCR dalam rangka program kampanye PBB yang diperuntukan untuk kamu muda, yang disebut sebagai UN4U (The United Nation for You Campaign 2011). Melalui kampanye ini, PBB memaparkan tentang hal-hal yang terkait dengan UNHCR. Berikut adalah ulasannya.

UNHCR berfungsi untuk:

1  Perlindungan Internasional

2. Solusi Jangka Panjang (untuk pengungsi), meliputi pemulangan sukarela, integrasi lokal (asimilasi), dan penempatan di negara ketigA

3. Promosi hukum pengungsi internasional

Berikut adalah pengertian dari pengungsi yang bisa mendapat perhatian dari UNHCR. Secara umum pengungsi dibagi menjdi tiga kategori yaitu:

1. Refugges, yaitu mereka yang berada di luar negara asalnya, memiliki ketakutan yang mendasar dan mengalami penganiayaaN

2. IDPs (Internally Displace Person), yaitu pengungsi masih di negara asal yang mengungsi ke daerah lain karena perang/ konflik bersenjata

3. Orang tanpa kewarganegaraan

 Jadi secara umum, UNHCR menjadi penyedia utama perlindungan dan bantuan kepada pengungsi atau refugees.

Pentingnya Regulasi Dalam Dunia Penyiaran



Penyiaran terdiri dari dua bentuk yaitu penyiaran melalui televisi dan penyiaran melalui radio. Dalam kaitan dengan hal ini, ingin dikatakan bahwa dunia penyiaran merupakan dunia yang cukup kompleks, dimana dibutuhkan Undang-undang sebagai regulasi pengatur penyiaran.

Secara garis besar bentuk penyiaran di Indonesia diatur dalam tiga Undang-Undang pokok, yaitu Undang-undang No 40 tahun 1999 tentang Pers, Undang-undang No 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, dan Undang-undang No 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi.

Kebutuhan regulasi dalam mengatur dunia penyiaran di Indonesia tidak terlepas dari sepuluh dimensi/sudut pandang media penyiaran. Kesepuluh elemen inilah yang menjadi perhatian kenapa diperlukan regulasi dalam dunia penyiaran.


1.       Lembaga : Lembaga penyiaran bisa berbentuk PT, holding, grup, Yayasan, dll. Lembaga menyangkut institusi media. Contoh : trans 7
2.       Perizinan : Perizinan merupakan hal yang menentukan apakah sebuah media penyiaran legal atau tidak.
3.       Kepemilikan : Kepemilikan media bisa berupa atas nama perorangan atau badan hukum.
4.       Isi/konten : Isi/konten media beraneka ragam, mulai dari news, sport, hingga infotaiment. Selain di atur lewat Undang-undang, ada pula lembaga yang  bertugas mengawasi isi/ konten media penyiaran, apakah sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku atau tidak. Di Indonesia, lembaga yang berwenang atas hal ini adalah Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
5.       Infrastuktur : Infrastrusktur media berupa antena gelombang elektromagnetik, satelit, internet, pemancar, cable, dsb. Hal-hal semacam ini perlu diatur guna menciptakan kenyamanan bagi konsumen. Contohnya seperti yang diketahui gelombang elektromagnetik merupakan public domain. Maka perlu adanya aturan yang mengatur penggunaan dan pembagian gelombang elektromagnetik untuk media penyiaran agar tidak saling mengganggu satu sama lain yang dapat mengakibatkan gangguan penerimaan.  
6.       Organisasi bisnis : Media juga tentu berorientasi pada bisnis. Sember pendapat media bisa didapat dari iklan atau biaya berlangganan. Ini perlu diatur untuk mencegah terjadinya monopoli usaha media yang dapat mempengaruhi isi media.
7.       SDM/Kelompok Profesi : SDM/kelompok profesi adalah factor penting dalam media, karena merekalah yang menjalankan kegiatan penyiaran. Regulasi dalam kaitan dengan SDM diperlukan guna sebagai pedoman yang mengatur SDM dalam menjalankan tugasnya.
8.       Pasar/market area : Pembagian pasar meliputi lokal, nasional, translokal, dan global
9.       Audience : Audience merupakan sasaran utama media, dimana menjadi konsumen atas segala siaran media. Regulasi diperlukan untuk mengatur isi media (meliputi non pornografi, non SARA, non kekerasan, dll), semata-mata untuk melindungi audience dari kemungkinan dampak negative yang dapat ditimbulkan oleh media.
10.   Regulator : Regulator merupakan alat pengatur dunia penyiaran. Regulasi diperlukan dalam hal pembentukan regulator itu sendiri. Regulator berbentuk Undang-undang maupun kode etik yang bersangkutan (kode etik jurnalistik). Regulator ini senantiasa harus direvisi, untuk mengikuti perkembangan zaman yang terus berubah. Regulator bisa juga diartikan sebagai badan pengawas/pengatur penyiaran (KPI).

Minggu, 23 Oktober 2011

Jurnalisme Warga dalam Pandangan Pemerintah dan Mainstream Media

Jum’at, 7 Oktober 2011 aku diundang untuk ikutan Focus Group Discussion tentang Implementasi Citizen Journalism yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan jati diri bangsa. Acara yang diselenggarakan oleh Direktorat Kemitraan Komunikasi Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik - Kementrian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia ini bertujuan untuk mendapatkan masukan dari peserta diskusi mengenai rancangan format materi pelatihan dan panduan dalam pelaksanaan bimbingan teknis citizen journalism.
CJ | sumber : www.nkelber.com
Focus Group Discussion diikuti oleh peserta dari unsur Kementrian Kominfo, Persatuan Wartawan Indonesia, Serikat Pekerja Suratkabar (SPS), Akademisi (dosen dan mahasiswa), Praktisi Mainstream Media, dan Praktisi Citizen Journalism, dalam hal ini adalah Blogger.
Diskusi dimulai dengan paparan dari Direktur Kemitraan Komunikasi tentang bagaimana mestinya pemerintah menyikapi perkembangan jurnalisme warga di Indonesia.  Dari PWI, hadir pak Tarman Azzam, yang memaparkan pandangannya terhadap jurnalisme warga sebagai fenomena peradaban yang bisa saja membuat “gerah” di beberapa negara. Perkembangannya yang “borderless” membuat jurnalisme warga patut didorong untuk menjadi media alternatif yang akurasi dan kecepatan infomasinya bisa diandalkan. Namun, ketua PWI ini mengingatkan agar pemerintah tidak boleh mengatur apalagi mengintervensi jurnalisme warga.
Paparan di atas mendapatkan beragam tanggapan dari semua peserta yang hadir. Beberapa tanggapan yang sempat kucatat di antaranya adalah, tentang bagaimana pegiat jurnalisme warga dapat meningkatkan level of trust agar setara dengan mainstream media, dimana posisi jurnalisme warga berhadapan dengan Kode Etik Jurnalistik yang berlaku untuk para jurnalis di Indonesia, ada juga himbauan agar DPR bersama pemerintah perlu memperbarui Undang-Undang penerbitan dan ITE dengan memasukkan eksistensi jurnalisme warga di dalamnya, saran agar pemerintah melakukan bimbingan teknis terhadap jurnalisme warga yang tak bisa dipungkiri kehadirannya juga membantu mainstream media.
Perdebatan ringan terjadi saat jurnalisme warga dibandingan dengan jurnalis resmi dan Kode Etik Jurnalistik. Perlukah para pegiat jurnalisme warga memahami kode etik jurnalistik? Sudahkah mereka memahami 9 Elemen Jurnalisme Bill Kovach? Perlukah mereka memahami peraturan perundang-undangan yang mengatur penerbitan PERS?
element jurnalism Bill Kovach : 
1. Kewajiban utama jurnalisme adalah pada pencarian kebenaran  
2. Loyalitas utama jurnalisme adalah pada warga Negara  
3. Esensi jurnalisme adalah disiplin verifikasi  
4. Jurnalis harus menjaga independensi dari obyek liputannya  
5. Jurnalis harus membuat dirinya sebagai pemantau independen dari kekuasaan 
6. Jurnalis harus memberi forum bagi publik untuk saling-kritik dan menemukan kompromi 
7. Jurnalis harus berusaha membuat hal penting menjadi menarik dan relevan 
8. Jurnalis harus membuat berita yang komprehensif dan proporsional
9. Jurnalis harus diperbolehkan mendengarkan hati nurani personalnya. 

warga, sejauh yang kuketahui. Kutekankan di dalam forum tersebut, agar pemerintah tak perlu khawatir akan perkembangan jurnalisme warga. Para pelaku jurnalisme warga bahkan sudah melakukan upaya untuk mengatur komunitas mereka sendiri. Setiap komunitas pasti punya semacam acuan etika bagi para anggotanya. Agak memilukan memang melihat kenyataan bahwa selama ini kita sebagai blogger ataupun jurnalis warga dipandang remeh dan bahkan menakutkan oleh beberapa orang yang berada di pemerintahan dan mainstream media. Satu celetukan spontan yang sempat kudengar adalah “Wah, ternyata blogger tidak seseram yang saya bayangkan!”.

Tetapi sebagai blogger yang bijaksana, kita tak perlu menimpali pandangan yang ada seperti di atas dengan pikiran negatif. Kupikir wajar saja mereka punya persepsi seperti itu tentang blogger dan atau pegiat social media lainnya, karena memang mereka tak tahu. Justru di sinilah sebagai blogger Indonesia, kita harus memainkan peran untuk memberitahu mereka yang belum tahu tentang siapa dan bagaimana kita sebenarnya.

Pengantar Jurnalisme Investigasi

Reportase Investigasi

Reportase berasal dari bahasa Latin, reportare, yang berarti membawa pulang sesuatu dari tempat lain. Bila dikaitkan dengan kegiatan jurnalisme, hal itu menjelaskan seorang jurnalis yang membawa laporan kejadian dari suatu tempat, di mana telah terjadi sesuatu.
Sedangkan investigasi berasal dari bahasa Inggris investigative, yang asalnya juga dari bahasa Latin, vestigum artinya jejak kaki. Pada sisi ini menyiratkan pelbagai bukti yang telah menjadi suatu fakta.
Reportase investigasi merupakan sebuah kegiatan peliputan yang mencari, menemukan, dan menyampaikan fakta-fakta adanya pelanggaran, kesalahan, atau kejahatan yang merugikan kepentingan umum.
Dalam bukunya “Jurnalisme Investigasi”, Septiawan Santana mengutip pernyataan Ullman dan Honeyman yang menggambarkan dan mendevinisikan reportase investigasi sebagai sebuah reportase, sebuah kerja menghasilkan produk dan inisiatif, yang menyangkut hal-hal penting dari banyak orang atau organisasi yang sengaja merahasiakannya.
Sementara Goenawan Mohamad, wartawan senior Indonesia menyatakan, investiasi adalah kegiatan jurnalisme yang hendak “membongkar kejahatan”. Hal ini ketika seorang jurnalis mengikuti naluri penciuman untuk membuka pihak-pihak yang menutupi suatu kejahatan. Karenanya, kegiatan peliputannya berbeda dengan reportase pada umumnya. Ciri peliputannya meliputi kegiatan pengujian berbagai dokumen dan rekaman, pemakaian informan, keseriusan dan penelusuran riset.
Reportase biasa hanya mengungkap apa yang terjadi dan tampak di permukaan. Sedangkan reportase investigasi berusaha untuk menyingkap sesuatu dibalik permukaan. Ia memiliki fokus tertentu yang dituju. Peliputan jenis ini membutuhkan perencanaan matang dan waktu yang cukup panjang dalam pengerjaannya. Selain itu, resiko dan bahaya yang mengancam jurnalis investigasi lebih besar. Sebab, ia berhadapan dengan kelompok atau organisasi yang tak ingin kejahatannya terbongkar.
Prinsip liputan investigasi mengindikasikan kegiatan penggalian informasi. Sebagaimana diketahui, di antara perkerjaan seorang wartawan ialah mengumpulkan informasi untuk membantu masyarakat memahami pelbagai kejadian yang memengaruhi kehidupan mereka.
Penggalian informasi ini membawa seorang reporter melakukan tiga kegiatan. Pertama, surface fact, yakni penelusuran fakta-fakta dari sumber orisinil, seperti rilis berita, catatan-catatan tangan, dan berbagai omongan. Kedua, reportarial enterprise, yang meliputi kerja memverifikasi, menyelediki dan meliputi kejadian-kejadian mendadak serta mengamati latar belakang. Ketiga, interpretation and analysis, yakni, coba mengukur akumulasi informasi berdasar tingkat signifikasi, dampak, penyebab dan konsekwensinya.




Jurnalis Investigatif

Perbedaan awal dari jurnalis investigasi dan jurnalis biasa terletak pada inisiatifnya. Seorang jurnalis investigasi selalu peka dan mengasah instingnya. Telah sering kita sebut, seorang jurnalis harus bermata elang, telinga ayam dan hidung anjing. Penglihatan, pendengaran dan penciuman jurnalis di atas rata-rata manusia dalam menghadapi realitas yang terjadi sehari-hari. Masyarakat umumnya, menerima kejadian dan kenyatan yang dikatakan dan terjadi sebagai kebenaran, tanpa memertanyakan lebih lanjut kenapa dan bagaimana suatu itu terjadi.
Jurnalis investigatif selalu punya inisiatif beda. Ia tidak selalu serta merta menerima yang ada dan yang telah berjalan sebagai kebenaran. Ia terus menelisik sampai kedalam dari sebuah realitas kehidupan. Ia tidak menunggu sampai suatu masalah atau peristiwa timbul atau diberitakan. Sebaliknya, ia justru menampilkan peristiwa baru atau sesuatu hal baru atau membuat berita.
Karena kerumitan dan kepelikan masalah yang dihadapi, jurnalis investigasi membutuhkan waktu lebih lama untuk dapat mengungkap satu masalah. Berbeda dengan wartawan ‘ronda’ yang menjalin sebanyak mungkin pejabat resmi yang berpotensi sebagai sumber berita.
Jurnalis investigasi sangat seletif dan skeptis terhadap bahan berita resmi, meneliti dengan kritis setiap pendapat, catatan dan bocoran informasi, tidak serta merta membenarkan. Jika wartawan umum memberitakan apa yang terjadi atau yang diumumkan, jurnalis investigatif mengungkapkan, mengapa suatu hal diumumkan atau terjadi, mengapa terjadi lagi.
Jurnalis investigatif bukanlah jurnalis biasa yang hanya menjadi penyaluran dari berita-berita resmi. Jurnalis biasa umumnya hanya menghadiri jumpa-jumpa pers, rapat-rapat anggota dewan, seminar, pertemuan, sesuadah itu mencatatnya. Karenanya, wartawan macam ini tak lebih dari seorang pencatat saja.
Seorang jurnalis investigatif harus memiliki agresivitas tinggi terhadap data dan keterangan yang muncul dipermukaan, yang tersedia begitu saja di hadapannya. Punya kepekaan tinggi terhadap adanya persekongkolan, para penghasut rakyat, atau keculasan yang terjadi di masyarakat. Ia juga harus memiliki kamampuan untuk marah, menderita semacam kegusaran moral yang sungguh-sungguh terhadap suatu keculasan. Mereka mengamsalkan bahwa jurnalisme adalah memberikan kepada publik informasi yang oleh pemerintah dilarang keras untuk diketahui publik.
Sebab paling mendasar terkait dengan kaidah kerja investigasi ialah selalu memburu sesuatu. Pekerjaan investigasi wartawan berkaitan dengan nilai intensitas keingintahuan mengenai ‘how the world works or fails to work’. Seorang investigator tidak menerima mentah-mentah pernyataan sumber-sumber resmi. Ia melakukan riset mendalam, tekun mengontruksi suatu kejahatan dan tak kenal lelah mengejar sumber-sumber penting. Mereka tidak mau terbujuk untuk menuruti pandangan yang dikemukakan tokoh-tokoh publik atau orang-orang terkemuka atau pun kata-kata dari narasumber yang biasa mereka hubungi.
Ada tiga level atau tingkatan kerja dalam dunia jurnalisme. Level pertama, reporter melaporkan pelbagai kejadian masyarakat dan memaparkan apa yang terjadi. Level berikutnya, menginterpretasikan apa yang harus dilakukan. Pada level ketiga, mencari pelbagai bukti yang ada di balik sebuah peristiwa.
Untuk memeroleh laporan investigasi yang baik, harus selalu memiliki rasa ingin tahu, kemampuan untuk mendapatkan fakta, mampu memahami dan mampu menyampaikan kepada publik. Selain itu, ia harus bisa menimbulkan keinginan beraksi, peduli terhadap permasalahan orang lain, khususnya kaum tertindas. Untuk itu, ia memerlukan kecukupan pemilikan akan pengetahuan fakta-fakta, rasa iba, semangat melawan ketamakan dan perbaikan sosial. Di tambah lagi, seorang jurnalis investigasi harus mengembangkan tempramen dan talenta di dalam dirinya.


Proses Kerja Investigasi

Kehidupan berjalan dan kita ada di dalamnya. Jika kita terus mengikutinya tanpa ada rasa memertanyakan, semua seperti terjadi tanpa masalah. Padahal, jika kita mau merenung sejenak dan coba merefleksikan kehidupan secara mendalam, banyak permasalahan dan kejanggalan yang terjadi di sekitar kita. Karena itulah, butuh kecerdasan dan ketajaman pikiran seorang jurnalis untuk mengungkap ketidakberesan yang terjadi.
Seorang jurnalis harus memiliki rasa keingintahuan seperti anak-anak, ketahanan fisik seorang kuli bangunan dan kecerdasan seorang profesor. Ini terkait medan yang dihadapi membutuhkan ketiga hal tersebut. Tanpa itu, sulit bagi seorang untuk menjadi jurnalis yang sesungguhnya. Maka, salah-satu yang mungkin adalah terus mengembangkan, melatih dan mengasah, baik insting, fisik dan memerkaya ilmu dan pengetahuan.
Terkadang, kerja wartawan investigatif mirip dengan kerja seorang reserse atau intelejen. Ia menelusuri sebuah kejahatan sampai kedalam-dalamnya, yang bagi orang awam susah ditembus. Bahkan bila perlu ia harus melakukan penyamaran. Namun hal terakhir ini sebisa mungkin dihindari, kecuali memang tak ada jalan lain. Sebab, jurnalisme sangat menjunjung tinggi kejururan, baik dalam penulisan maupun peliputan.
Terkait proses kerja investigasi secara sederhana terbagi dalam dua bagian. Kegiatan awalnya ialah menelusuri pelbagai kasus/skandal/permasalahan yang mesti ditindaklanjuti. Jika dapat, maka pada tahap yang lebih serius, investigasi memulai kerjanya.
Wartawan investigasi dari Omaha, yang juga teoritisi di Ohio State University, Paul N. Williams memberikan sebelas langkah reportase investigatif.

1. Conseption
Unsur awal ini terkait dengan apa yang disebut pencarian berbagai ide/gagasan, yang menurut Williams merupakan proses unending. Ide atau gagasan ini bisa didapat darimana saja. Baik dari saran seseorang, menyimak pelbagai narasumber reguler, membaca, menyimak potongan berita, mengembangkan sudut pandang lain dari sebuah berita atau observasi langsung.

2. Fisibility Study
Langkah ini ialah mengukur kemampuan dan perlengkapan yang diperlukan. Hal ini karena investigasi berbeda dari liputan biasa, yang hanya mengungkap apa yang tampak dalam peliputan. Oleh sebab itu, liputan investigasi memerlukan penyiapan yang bukan sekadar perangkat yang harus dimiliki wartawan. Di sini, butuh upaya wartawan untuk menganalisis kemungkinan-kemungkinan yang akan dihadapi. Di antaranya, berbagai halangan yang harus dihadapi, perhitungan terhadap berbagai objek yang harus direportase serta menjaga kerahasian terhadap media lain.

3. Go-No-Go-Decision
Langkah ini merupakan pengukuran terhadap hasil investigasi yang akan dilakukan. Setiap liputan investigasi mesti memerhitungkan akhir dari proyek penyelidikan yang akan dikerjakan. Singkatnya, ada target dari kerja investigasi yang dilakukan.

4. Basebuilding
Upaya wartawan untuk mencari dasar pijakan dalam menganalisis sebuah kasus. Ini disebabkan, tiap kasus yang terjadi di masyarakat akan terkait dengan pemahaman dasar mengenai kehidupan manusia, institusi, atau isu-isu, yang biasanya berhubungan dengan berbagai wacana sejarah dan kontemporer. Sebab, untuk paham bagaimana sesuatu itu terjadi, adalah penting memelajari bagaimana sesuatu itu bisa terjadi.

5. Planing
Mengingat resiko dan ketelitian serta kerapihan kerja, perlu adanya perencanaan/planing yang terkait dengan pengumpulan dan penyusunan informasi, pembagian tugas dan sebagainya.
Proses penyusunan dilakukan setelah mengumpulkan berbagai isu yang merebak di masyarakat. Setelah itu, pengecekan dan penyusuan biasa dilakukan dengan menyilang-referensikan seluruh dokumen dan catatan wawancara dengan berbagai topik yang relevan.
Pembagian tugas meliputi, pengerjaan: peliputan, penulisan, copy-editing, fotografi, grafik, pengecekan akurasi dan penuduhan-penuduhan.

6. Original Reseach
Kegiatan ini umumnya terbagi menjadi dua, papers trails dan people trails. Papers trails adalah pencarian berbagai keterangan yang bersifat tekstual. Ini meliputi penggalian terhadap sumber-sumber skunder seperti surat kabar, majalah, selebaran, naskah-naskah, buku referensi, desertasi, tesis, database komputer, internet dan lain-lain.
Di samping itu yang lebih penting adalah dokumen-dokumen primer seperti, naskah, perjanjian, catatan administrasi, pajak, data-data kelahiran, kematian, keuangan, sampai database pemerintah.
Sementara itu, people trails meliputi pekerjaan mencarai dan mewawancarai sumber-sumber terkait.


7. Reevaluation
Setelah semua data terkumpul dan dievaluasi, kembali pertanyakan, haruskah investigasi dilanjutkan? Atau haruskah disusun sekarang? Atau ditunda dulu untuk sementara waktu?

8. Filling the Gap
Ini adalah fase kegiatan yang mengupayakan beberapa bagian yang belum terdata.

9. Final Evaluation
Tahap ini berbeda dengan tahap sebelumnya. Tahap evaluasi final ini ialah mengukur hasil investigasi dengan kemungkinan buruk atau negatif, seperti, menghitung apakah pekerjaan penelusuran ini berdasarkan pretensi jurnalisme atau politik atau lainya. Atau bahkan tidak terkait dengan kaidah dasar pekerjaan kewartawanan.
Bila diekspos, apakah tidak ada persoalan dengan privasi (hak privasi) dari seorang tokoh publik. Di sini juga diperhitungkan keamanan sumber-sumber yang tak mau disebutkan, atau diberitakan. Di tepi lain, perlu perhitungan apakah berita ini melanggar hukum atau tidak. Dan yang paling penting adalah mengevaluasi keakurasian pihak-pihak yang hendak diaporkan, sesuai dengan standar jurnalistik.

10. Writing And Writing
Menulis laporan investigasi memerlukan kesabaran, ketekunan dan kemauan untuk terus memerbaiki penulisan berita, secara terus menerus bila diperlukan.

11. Publication and Follow-Up Stories
Pelaporan berita investigasi biasanya tak hanya muncul dalam satu kali penerbitan. Masyarakat kerap menunggu dari masalah yang telah diungkap. Penyelesaian dari pihak-pihak yang terungkap dan sebagainya.


Pada peralihan abad 19 ke 20, berita dibuat menurut “apa yang dilakukan orang” bukan “apa yang terjadi pada orang”. Sejalan dengan perkembangan masyarakat, kerangka perumusan berita berkembang pula mengikuti tuntutan kebutuhan masyarakat. Konsep tradisional apa, siapa, kapan, di mana, bagaimana, dan mengapa pun mulai diubah ke penekanan tertentu. Pelaporan mementingkan jawaban mengapa, untuk memenuhi kebutuhan pemerintah masyarakat dan pemerintah akan penjelasan berbagai kejadian yang dilaporkan wartawan. Wartawan dituntut untuk mengangkat permasalahan dengan kriteria nilai berita yang yang berlatar belakang isu-isu kompleks. Mereka harus melaporkan peristiwa dengan kedalaman dan kelengkapan isu sosial yang akan memengaruhi kehidupan masyarakat.




Komponen Moral

Tujuan kegiatan jurnalisme investigasi adalah memberitahu kepada masyarakat adanya pihak-pihak yang telah berbohong dan menutup-nutupi kebenaran. Masyarakat diharapkan waspada terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan berbagai pihak.
Dari tujuan tersebut, dapat dilihat bahwa ada tujuan moral. Segala yang dilakukan wartawan investigasi dimotivasi oleh hasrat untuk mengoreksi keadilan dan menunjukkan adanya kesalahan.
Menurut Melvin Mencher, the moral component merupakan unsur penting dalam peliputan investigasi. Wartawan mengumpulkan segala bukti yang menguatkan fakta adalah didorong oleh motivasi moral. The desire to correct an injuctice, to right a wrong, and persuade the public to alter the situation. Pada akhirnya, pekerjaan jurnalisme investigasi mengajak masyarakat untuk memerangi pelanggaran yang tengah berlangsung dan dilakukan oleh pihak-pihak tertentu.

Mengembangkan Fakta dengan Dangerous Projects

Jurnalisme investigasi dialokasikan sebagai pekerjaan berbahaya atau dangerous projects. Para wartawannya berhadapan dengan kesengajaan pihak-pihak yang tidak mau urusannya diselidiki, dinilai, dan juga dilaporkan kepada masyarakat. Oleh karena itu, kewaspadaan dalam karier kewartawanan menjadi hal yang penting.
Dan harus diingat bahwa jurnalisme investigasi bukan hanya menyampaikan sebuah dugaan adanya sebuah persoalan pelanggaran, melainkan juga merupakan kegiatan memproduksi pembuktian konklusif terhadap suatu persoalan dan melaporkannya sejara jelas dan sederhana.
Kegiatan jurnalisme investigasi terkait dengan upaya mengembangkan bangunan fakta-fakta. Nilai mutu laporan jurnalistik ini terletak dalam membangun dasar fakta-fakta. Hasil liputannya mengeluarkan sebuah judgement yang didasari oleh fakta-fakta yang melingkupi persoalan yang dilaporkan wartawan. Untuk itulah pekerjaan ini mementingkan sekali kesiapan kerja wartawan untuk selalu mengecek fakta-fakta, tidak mudah menaruh kepercayaan kepada segala sesuatu,termasuk tidak langsung memercayai orang-orang yang memiliki kepentingan.
Kerja investigasi wartawan kerap menemukan area liputan yang mesti dibuka dengan sengaja. Berbagai narasumber bahkan diasumsikan mempunyai kemungkinan untuk memanipulasi data. Oleh sebab itu, berbagai data yang didapat memerlukan analisis kritis wartawan investigasi.

Senin, 17 Oktober 2011

Sejarah Jurnalisme Indonesia

Pada awalnya, komunikasi antar manusia sangat bergantung pada komunikasi dari mulut ke mulut. Catatan sejarah yang berkaitan dengan penerbitan media massa terpicu penemuan mesin cetak oleh Johannes Gutenberg.

Di Indonesia, perkembangan kegiatan jurnalistik diawali oleh Belanda. Beberapa pejuang kemerdekaan Indonesia pun menggunakan jurnalisme sebagai alat perjuangan. Di era-era inilah Bintang Timur, Bintang Barat, Java Bode, Medan Prijaji, dan Java Bode terbit.

Pada masa pendudukan Jepang mengambil alih kekuasaan, koran-koran ini dilarang. Akan tetapi pada akhirnya ada lima media yang mendapat izin terbit: Asia Raja, Tjahaja, Sinar Baru, Sinar Matahari, dan Suara Asia.

Kemerdekaan Indonesia membawa berkah bagi jurnalisme. Pemerintah Indonesia menggunakan Radio Republik Indonesia sebagai media komunikasi. Menjelang penyelenggaraan Asian Games IV, pemerintah memasukkan proyek televisi. Sejak tahun 1962 inilah Televisi Republik Indonesia muncul dengan teknologi layar hitam putih.

Masa kekuasaan presiden Soeharto, banyak terjadi pembreidelan media massa. Kasus Harian Indonesia Raya dan Majalah Tempo merupakan dua contoh kentara dalam sensor kekuasaan ini. Kontrol ini dipegang melalui Departemen Penerangan dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Hal inilah yang kemudian memunculkan Aliansi Jurnalis Indepen yang mendeklarasikan diri di Wisma Tempo Sirna Galih, Jawa Barat. Beberapa aktivisnya dimasukkan ke penjara.

Titik kebebasan pers mulai terasa lagi saat BJ Habibie menggantikan Soeharto. Banyak media massa yang muncul kemudian dan PWI tidak lagi menjadi satu-satunya organisasi profesi.

Kegiatan jurnalisme diatur dengan Undang-Undang Penyiaran dan Kode Etik Jurnalistik yang dikeluarkan Dewan Pers